Refleksi 125 Tahun Perjanjian Tumbang Anoi, Elia : Warga Pedalaman Harus Sekolah Hingga Perguruan Tinggi

Beritakalteng.com, PALANGKA RAYA- Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah menjadi tempat yang paling bersejarah, bagi seluruh suku Dayak di Kalimantan. Sebab, di tempat itulah pada tanggal 22 Mei sampai dengan 24 Juli 1894 lalu, Rapat Damai Suku Dayak atau sekarang lebih dikenal ‘Perjanjian Damai Tumbang Anoi’ digelar.

Saat itu, rapat akbar itu dihadiri oleh sekitar 1000 orang, dari 152 suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan, yang mencakup wilayah Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Pertemuan yang berbuah kesepakatan bersama itu, dimaksudkan sebagai bentuk keseriusan, antar tetua suku Dayak, panglima perang suku Dayak, Damang dan tokoh adat suku Dayak se Bumi Borneo.

Untuk menghentikan konflik 4H, yakni saling ‘Hakayau’ (memotong kepala), ‘Hajipen’ (memperbudak), ‘Hasang’ (hasarang/serbu) dan ‘Habunu’ (membunuh) antar suku Dayak, di Bumi Borneo. Sekarang, di tahun 2019 ini, tidak terasa sudah 125 tahun pertemuan itu telah berlalu.

Merefleksikan perjanjian damai Tumbang Anoi 1894, Rektor Universitas Palangka Raya (UPR), Dr Andrie Elia SE MSi mengutarakan gagasannya, waktu itu masih belum ada namanya Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimatan Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara. Yang ada, dulu hanya  nama Bumi Borneo, yaitu Bangsa Dayak.

“Dulu bangsa Dayak masih terpecah-pecah, mulai dari Serawak, Kucing, Malaysia sampai ke pedalaman Kalimantan. Sementara, untuk agamanya pun hanya ada agama lokal masing-masing saja, seperti agama Kaharingan contohnya.” ujarnya, senin (22/7) di Palangka Raya.

Adanya konflik antar suku waktu itu, memunculkan sebuah kesadaran bersama, dari para antar tetua suku Dayak, panglima perang suku Dayak, Damang dan tokoh adat suku Dayak se Bumi Borneo, untuk menyepakati sebuah perjanjian damai, sekaligus menghentikan semua konflik yang terjadi. Dengan ikatan Perjanjian Damai Tumbang Anoi.

Rektor sekaligus juga menjabat sebagai Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalteng ini menuturkan, kesepakatan tersebut tertuang ke dalam 96 pasal, yang menjadi isi (pedoman) perjanjian damai Tumbang Anoi. saat itu Damang Batu tampil berani memediasi pertemuan tersebut, dengan mengumpulkan seluruh suku Dayak di seluruh Bumi Borneo, sampai pada batas negeri ini, dimanapun berada.

“Itu merupakan sebuah tonggak sejarah, tercetusnya perdamaian atas semua konflik yang terjadi, di antara suku Dayak se Bumi Borneo ini. Dimana, seluruh suku Dayak harus bersatu. Dan, dari sanalah kesepakatan itu tercapai. dari pertemuan itulah, maka memunculkan peraturan-peraturan hukum adat Dayak.” paparnya menambahkan.

Apabila ada yang melanggar hukum adat yang telah disepakati bersama tersebut, tentunya dipastikan akan mendapat sanksi adat, sebagaimana telah diatur dalam hukum adat Dayak tersebut. Jadi, jauh sebelum lahirnya Pancasila dan peraturan perundang-undangan, seperti KUHP atau hukum positif lainnya.

Pria yang kerap dianggil pak Elia ini menabahkan, suku dayak yang hidup di Bumi Borneo, sudah bersatu dan telah memiliki peraturan hukum adat Dayak, yang mengatur dalam hidup bermasyarakat.

Meskipun, itu dalam bingkai yang berbeda-beda, tapi tetap bisa bersatu. Beda aliran sungai, beda bahasa dan masih ada perbedaan lainnya, tapi itu masih bisa tetap bersatu, dalam rumpun suku Dayak di Bumi Borneo ini.

Namun, yang anehnya saat itu, masih belum ada teknologi komunikasi, seperti sms, telepon dan lainnya, para tetua suku Dayak, panglima perang suku Dayak, Damang dan tokoh adat suku Dayak se Bumi Borneo, bisa berkumpul di satu titik, yaitu di Desa Tumbang Anoi. Terlebih lagi, dengan belum tersedianya infrastruktur jalan yang ada seperti sekarang ini.

Dulu, untuk mencapai titik pertemuan tersebut, hanya bisa melalui jalur sungai dan menerobos hutan belantara saja. makna dari perjanjian damai Tumbang Anoi, dalam konteks kehidupan bernegara sekarang ini, adalah bahwa suku Dayak yang ada di Bumi Borneo ini juga, merupakan bagian dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

“Konteksnya sekarang, yaitu berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan orang lain, untuk terus mengisi kemerdekaan negara ini, dan tetap selalu menjaga keutuhan NKRI, sehingga tidak terpecah belah. Begitupula, dalam hal merdeka.”

“Yang dimaksudkan merdeka disini, adalah merdeka dari keterisolasian, keterpurukkan, kebodohan dan merdeka dari kesehatan yang buruk. hikmahnya dalam konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sekarang ini. anak-anak yang berada di pedalaman, harus bisa bersekolah hingga ke perguruan tinggi.” tutupnya.(YS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: