Makna Filosofis Dibalik Festival Budaya Babukung

TARI TOPENG LUHA – Sejumlah penari topeng Luha meriahkan acara Festival Budaya Babukung tahun 2024.

 

KALTENGNEWS – NANGA BULIK – Dibalik pelaksanaan Festival Budaya Babukung, ternyata tari Babukung mempunyai sisi historis dan muatan filosofis yang sangat luhur, terutama dalam pergumulan masyarakat adat Dayak Tomun yang banyak mendiami wilayah Kabupaten Lamandau dengan kepercayaan Kaharingan.

“Tari Babukung sejatinya bukan hanya merupakan sebuah pertunjukan seni produk adat asli masyarakat Dayak Tomun yang merupakan warisan nenek moyang yang ada di Bumi Kalimantan, tetapi ada nilai filosofi yang tinggi terkandung di dalamnya,” terang Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan Bulik, Biris saat dibincangi pada Jumat (9/8/2024).

Ia menjelaskan, masyarakat Dayak Tomun melaksanakan tradisi Babukung, ketika salah satu kerabat pemeluk kepercayaan Kaharingan meninggal dunia. Tradisi ini yakni menari dengan ciri khas penggunaan topeng yang dalam bahasa lokal disebut Luha. Umumnya topeng ini berkarakter hewan seperti burung, kelelawar, kupu-kupu, owa-owa, bahkan hewan imajiner naga.

“Acara adat kematian suku Dayak yang banyak dikenal adalah Tiwah. Jika Tiwah itu dilakukan setelah jenazah dikuburkan, maka tari Babukung dilakukan saat jenazah disemayamkan atau sebelum jenazah dikubur,” terangnya.

Setidaknya ada dua pesan moral yang terkandung dalam kegiatan Babukung, yakni tentang gotong royong yang tercermin dalam bantuan materil kepada keluarga yang ditinggal dan tentang kesetiakawanan yang dituangkan dalam bentuk menghibur mereka yang bersedih dengan tabuhan musik dan liukan tari.(fit/agg)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: