Beritakalteng.com, PALANGKA RAYA- Sebagai tindak lanjut dari kegiatan lokakarya yang digagas oleh Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya (Faperta UPR), bersama dengan WWF Indonesia Regional Kalimantan, yakni dengan menggelar kegiatan Diskusi Terfokus, yang terlaksana di Ballroom Tanjung Baru 1, Hotel M Bahalap, Jalan RTA Milono, Rabu (20/11) kemarin.
Kegiatan ini diikuti oleh puluhan peserta, yang berasal dari perwakilan dari Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalteng, Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Kalteng, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Kalteng, BPHP wilayah X Palangka Raya, KPHP Katingan Hulu Unit XVII, serta para pemangku kepentingan lainnya.
Jalannya kegiatan hari ini, tidak hanya sebatas pada penyampaian materi, dari sejumlah narasumber utama, namun melainkan juga, para peserta yang hadir diajak untuk lebih berpartisipasi, dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi kecil, yang tujuannya agar dapat mendiskusikan sejumlah persoalan dan isu-isu lingkungan, terutama dalam hal pengelolaan hasil hutan bukan kayu (HHBK), yang terdapat di wilayah Provinsi Kalteng.
Pada sambutannya, Rektor UPR Dr Andrie Elia SE MSi yangmana pada kesempatan ini diwakili oleh Dekan Faperta UPR, Dr Ir Sosilawaty MP, menyampaikan apresiasi kepada semua pihak, atas terselenggaranya kegiatan Diskusi Terfokus ini.
Lanjut, Dr Ir Sosilawaty MP mengatakan, kerjasama antara UPR dan WWF yang sudah terjalin ini, hendaknya terus berlanjut, dan apa yang didiskusikan ini, dapat memberikan nilai manfaat, terutama dalam hal pengelolaan hutan di Kalteng, sekaligus pula ini dapat menjadi bahan literasi keilmuan, terlebih khusus dalam hal pengembangan ilmu kehutanan.
“Kita sangat meyakini, hasil diskusi yang dilakukan ini, dapat menjadi hal yang positif dan bermanfaat, untuk semua pihak. Faperta UPR, tentunya sangat mendukung terselenggaranya kegiatan seperti ini.”
“Terlebih, kedepan melalui berbagai hasil kajian ilmiah yang dilakukan, oleh para civitas akademika Faperta UPR, bersama-sama dengan mitra kerjanya, maka harapannya itu, akan menambah literasi, terutama penelitian yang dihasilkan oleh para dosen yang ada di bawah unit kerja Faperta UPR,” ucapnya.
Sambungnya, salah upaya civitas akademika Faperta UPR, turut memajukan UPR, yakni dengan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk pula dari NGO, seperti WWF. Dan, semoga melalui kerjasama ini, maka UPR dapat semakin maju sekaligus berkontribusi untuk Kalteng Berkah, serta dalam rangka menuju UPR Jaya Raya.
Sementara itu, masih di kegiatan yang sama, Coordinator Kalimantan Forest & Freshwater WWF Indonesia, Indra Bayu Patimaleh menyampaikan, selain adanya paparan dari sejumlah narasumber, pada kegiatan ini juga dilakukan diskusi oleh kelompok-kelompok kecil, yangmana itu adalah para peserta itu sendiri.
Salah satu materi diskusi, yakni pembahasan terkait pengelolaan HHBK, terutama rotan. Seperti diketahui bersama, saat ini kebutuhan rotan sangat diminati pasar lokal bahkan dunia. Namun, ironisnya harga beli rotan ditingkat petani, masih terbilang sangat rendah.
Yakni, harga ideal ditingkat petani, untuk rotan mentah/basah berkisar Rp. 2.300/kg, sementara yang kering ditingkat pengolahan berkisar Rp. 7.800/kg. Melalui diskusi kelompok kecil ini, Bayu berharap dapat memberikan sebuah rekomendasi dan solusi, atas acuan harga rotan, yang direlease oleh pemerintah, berupa harga pokok produksi (HPP) rotan.
“Kita berharap, adanya sinergitas antar pemerintah dan NGO, dalam upaya menetapkan HPP rotan, agar lebih manusiawi lagi. Dan, itu semata-mata untuk meningkatkan perekenomian kerakyatan, dari para petani rotan. Kami dari WWF bekerjasama dengan Jurusan Kehutanan Faperta UPR, telah melakukan kajian tersebut,” ungkapnya.
Bayu juga menuturkan, adanya kebijakan larangan ekspor yang termuat dalam Permendag No 35/2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan, menuntut para petani rotan di Kalteng, untuk bisa lebih kreatif lagi.
“Namun, disisi lain dalam Permendag No 38 Tahun 2017 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, yang baru dirilis tidak membuka ekspor bahan baku rotan, melainkan hanya untuk rotan setengah jadi, dengan syarat melalui verifikasi oleh surveyor yg ditunjuk oleh Menteri Perdagangan RI,” Imbuhnya.
Ia juga menambahkan, idealnya kita harus memenuhi bahan baku terlebih dahulu, untuk kebutuhan ‘sustainability produk Industri hilir’. Yang artinya, prioritas pemenuhan bahan baku, lebih mengedepankan kebutuhan industri nasional, ketimbang mengekspor bahan mentah rotan, secara langsung ke luar negeri.
Hal ini, tentunya untuk menyerap lapangan pekerjaan, untuk memperkuat peningkatan ekonomi kerakyatan, sehingga tidak terjadi kelangkaan bahan baku rotan itu sendiri.
Hendaknya, peran pemerintah pusat maupun daerah terus dilakukan, baik itu dalam hal pendampingan atau mempertemukan para petani rotan dengan pasar, tanpa harus lagi dipermainkan oleh para tengkulak, yang kerap menekan dan mempermainkan harga ditingkat petani.
Disisi lain, Sekretaris Jurusan Kehutanan Faperta UPR, Dr Renhart Jemi mengutarakan, beberapa poin yang dihasilkan dalam diskusi ini, yaitu diantaranya dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan masyarakat lokal.
Pengembangan HHBK dan Jasling (jasa lingkungan), harus bekerjasama dengan semua pihak. KEE (kawasan ekosistem esensial), dapat dikembangkan oleh pemerintah daerah, pada kawasan APL (alokasi penggunaan lainnya), yang memiliki keragaman hayati yang tinggi.
Lanjut Dr Renhart Jemi yang juga menjadi konsultan independen HHBK WWF, KPH (kesatuan pengelolaan hutan) dapat mengelola Perhutaann sosial melalui skema Hutan kemasyarakatan, Hutan Adat, Hutan Rakyat dan kemitraan.
Dan, skema pemanfatan HHBK melalui skema IUPHHBK (ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu), kerjasama KPH, Perhutanan Sosial, Ketahanan Pangan dan IHHBK. Kemudian, yang terakhir jenis kerjasama pengelolaan HHBK, melalui Hutan lindung dengan pola agroforestry, dan Hutan produksi dengan pola agroforestry, silvopastur dan silvoshery.(YS)