Beritakalteng.com, PALANGKA RAYA – Keberadaan masyarakat adat di Indonesia merupakan suatu fakta yang tidak terbantahkan, akan tetapi pemerintah cenderung memperdebatkan dengan mengemukakan berbagai isu terkait peristilahan dan definisi.
Seperti yang disampaikan oleh Rektor Universitas Palangka Raya Dr. Andrie Elia SE, M.Si menjadi salah satu narasumber bersama dengan Dr. Agustin Teras Narang, SH Anggota DPD RI Dapil Kalteng pada kegiatan Kuliah Umum yang dilaksanakan oleh Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya dengan tema “Eksistensi Hukum Adat Dayak Dalam Membangun Hukum Nasional Dalam Falsafah Huma Betang”, Jumat (1/102021).
Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalteng ini berpendapat bahwa masyarakat adat lebih dulu ada sebelum ada negara dan seharusnya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
“Jika kita kembali ke zaman penjajahan terjadi politisasi keberadaan masyarakat adat apalagi hingga sekarang masih banyak dari masyarakat kita yang memiliki perspektif hukum Belanda, sehingga paradigma berpikir pembuat UU kadang masih bernuansa kolonial,” kata Andrie.
Penggunaan istilah “Masyarakat Adat” atau “kesatuan hukum masyarakat adat” lanjutnya, membawa implikasi pada pemahaman dan definisi yang kadang-kadang dipaksakan/digiring menyangkal keberadaan masyarakat adat itu sendiri.
Bagi pemerintah, penggunaan istilah “Masyarakat Adat” untuk menggantikan istilah “indigenous people” yang berakibat pada hilangnya monopoli negara dalam pengelolaan sumber daya alam maupun klaim bahwa semua orang Indonesia adalah Indigenous.
Pemerintah saat ini cenderung menerapkan konsep dan definisi Masyarakat Adat atau kesatuan hukum masyarakat adat dengan dua kriteria “sejalan dengan perkembangan jaman” dan tidak “tidak bertentangan dengan hukum dan perundangan yang berlaku” pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 menggunakan istilah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat.
Peraturan lain menggunakan istilah yang berbeda-beda seperti; Masyarakat Adat, masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional dan masyarakat terasing.
Di Kalimantan Tengah pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat Dayak diatur dalam beberapa aturan diantaranya adalah surat keputusan Gubernur, tanggal 11 Desember 1958 nomor DD/64/112/Df/I-II-III tentang status, kedudukan serta fungsi lembaga kedamangan,”
Perda nomor 16/DPR-GR/1996 Penetapan wilayah kedamangan dan kewajiban Damang kepala adat. Perda nomor 14 tahun 1998 tentang kedamangan, perda nomor 16 tahun 2008 tentang pembangunan kebun berkelanjutan.
Perda nomor 5 tahun 2015 tentang RTRWP Kalteng 2015-2035, Pergub nomor 13 tahun 2009 tentang tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah dan pergub nomor 22 tahun 2011 tentang tata cara pelaksanaan kurikulum muatan lokal.
“Untuk mewujudkan eksistensi Dayak nilai-nilai luhur harus mengembangkan segala nilai yang relevan dengan perkembangan masyarakat baik nilai budaya, nilai ekonomi, nilai politik, maupun nilai etika dan estetika yang hidup dalam suatu komunitas/ etnis, sebut saja nilai kerja keras, gotong royong, jujur, keadilan, sportifitas yang selalu ditumbuh kembangkan disamping nilai luhur lainnya,” bebernya menambahkan.
Dalam konteks keindonesiaan, nilai luhur Pancasila merupakan acuan dan pedoman nilai yang melekat bagi setiap warga negara. Masyarakat adat harus menjaga kapakat, karakat dan kakompak dalam mengambil bagian dalam pembangunan Kalimantan Tengah.
Untuk mewujudkan eksistensi hukum adat Dayak masyarakat harus berperan aktif dalam semua sektor dalam pembangunan di Kalimantan Tengah dan perlu bersama-sama mendorong komitmen daerah untuk menetapkan payung hukum pengakuan dan perlindungan hukum adat Dayak.
“Dayak harus bermartabat dan kuat junjung tinggi 3 K (Kapakat, Karakat, Kakompak) Dayak harus berdaulat dalam bidang ekonomi, sosial budaya serta politik maka eksistensi Dayak akan terwujud,” tutupnya.(a2)