Beritakalteng.com, BUNTOK – Ketua DPRD Kabupaten Barito Selatan Ir. HM. Farid Yusran, mengungkapkan bahwa ada utang pemerintah daerah untuk dana Biaya Layanan Umum Daerah (BLUD) RSUD Jaraga Sasameh (RSJS) Buntok sebesar Rp16 miliar pada tahun 2019 yang belum terbayar, tidak melalui mekanisme persetujuan oleh Dewan.
Informasi tersebut, diungkapkan oleh Farid seusai memimpin rapat Paripurna XIII masa sidang Ke-II tahun 2020 dengan agenda penyampaian persetujuan Dewan terhadap penetapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Bupati atas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Barsel tahun 2019 menjadi Peraturan Daerah (Perda), Kamis (13/8/2020).
Dibeberkan oleh politisi PDI Perjuangan itu, jumlah utang tersebut, merupakan total dana Biaya Layanan Umum Daerah (BLUD) RSJS Buntok sebanyak Rp16 miliar yang dipinjam dari pihak ketiga, tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari Dewan.
Sementara itu, terangnya lagi, selain utang sebesar Rp40 miliar yang belum terbayarkan tersebut, pada tahun 2020 pemkab kembali mengajukan pinjaman sebesar Rp38 miliar.
“Kita menemukan hal baru, dimana BLUD RS Buntok itu, dimasukan kedalam pinjaman daerah dalam struktur APBD,” ungkap Farid.
“Kalau sekarang (tahun 2020) Pemda meminjam Rp38 miliar, kemudian yang BLUD itu Rp16 miliar ya, itu yang tahun kemaren (2019), tapi kalau pemda meminjam yang tahun kemaren itu Rp24 miliar (minta) dibayar tahun ini. Jadi Rp24 miliar ditambah Rp16 miliar, berarti sekitar Rp40 miliar lebih,” bebernya.
Untuk itulah, sebut Farid lagi, pihaknya dalam waktu dekat akan meminta penjelasan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI selaku auditor, menyangkut persoalan tersebut.
Karena berdasarkan yang tertuang di APBD 2019, semua utang tersebut masuk kedalam struktur pinjaman daerah.
Padahal, sesuai dengan peraturan yang berlaku, utang/pinjaman daerah seharusnya melalui mekanisme persetujuan dari DPRD baru kemudian bisa dilakukan.
“Nah, kalau dia (utang), dimasukan kedalam pinjaman daerah, maka kita (DPRD) menafsirkan perlakuannya harus seperti ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang itu, dimana DPRD harus memberikan persetujuan terhadap pinjaman!” tegasnya.
“Makanya kita (DPRD) merasa perlu konsultasi dengan BPK RI, karena laporan pertanggungjawaban ini berdasarkan pemeriksaan dari BPK RI. Makanya kita perlu bertanya kepada mereka, minta penjelasan,” tukas Farid.
Pasalnya, berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Keuangan Daerah, disebutkan bahwa pinjaman daerah harus melalui mekanisme persetujuan Dewan.
Selain itu, sebagaimana tertuang pada dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/PMK.07/2018 Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2019, pada Bab III batas maksimal defisit APBD adalah sebesar lima persen untuk kategori sangat tinggi dan tiga persen untuk kategori sangat rendah.
“Kalau memang diberlakukan sebagai pinjaman daerah, yang pertama harus mendapatkan persetujuan DPRD sebelum ngutang. Kedua, angkanya harus tidak melebihi ketentuan yang ada, itu kan ada persentase persentase ininya (utang terhadap jumlag APBD),” jelasnya.(Sebastian)