Pembukaan hutan di wilayah Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah untuk dijadikan perkebunan kepala sawit. Foto: Save Our Borneo/ M Habibi

Korban Bencana Ekologi Berhak Menggugat Negara

Pembukaan hutan di wilayah Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah untuk dijadikan perkebunan kepala sawit. Foto: Save Our Borneo/ M Habibi

 

PALANGKARAYA- Masyarakat yang menjadi korban dalam bencana ekologi memiliki hak untuk menggugat pemerintah, baik secara perorangan maupun kelompok. Bentuknya bisa berupa ganti rugi atau memaksa pemerintah menjalankan tata kelola yang baik guna meminimalisir potensi bencana.

Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Genta Keadilan, Parlin Bayu Hutabarat, menjelaskan, hak warga negara untuk mengajukan gugatan lahir dari asas conditio sine qua non atau dikenal dengan asas sebab akibat. Tinggal membuktikan bencana tersebut dampak dari penerbitan izin yang semena-mena.

“Pemerintah adalah kebijakan perizinan dan ketika kebijakan tersebut dijalankan dengan sewenang-wenang, disitulah bencana datang,” kata Parlin di Palangkaraya, Kamis (29/9/2022).

Argumentasi itu ujar dia, diperkuat isi Undang Undang Dasar, dimana dikatakan pemerintah menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat dimaknai termasuk melindungi keselamatan warga negara dari bencana yang timbul dampak dari pemberian izin yang asal.

“Gugatan yang diajukan bisa berbentuk class action, citizen lawsuit atau perdata, tergantung dari maksud atau tujuan yang hendak dicapai,” ujar Parlin.

Terpisah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bayu Herinata menyatakan, sebagai lembaga yang fokus pada isu lingkungan, pihaknya siap membantu warga korban bencana ekologis yang hendak menggugat.

“Untuk menggugat tidak sedikit yang perlu disiapkan dan kita perlu mengkonsolidasikan agar gugatan itu lahir dari masyarakat,” kata Bayu.

Namun ia mengaku pesimis pemerintah akan taat dan tunduk terhadap putusan pengadilan. Hal itu terlihat pada putusan citizen lawsuit yang diajukan Gerak Anti Asap (GAAs) beberapa waktu lalu.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, beberapa waktu lalu menyebutkan, dalam dua dekade terakhir, rata-rata 60 persen lebih hutan di sekitar sungai-sungai di Kalteng dinyatakan hilang.

Sebagai contoh Sungai Kahayan. Dimana pada tahun 1990 memiliki tutupan hutan mencapai 969.836,1 hektar. Lalu pada 2020 didapati hutan yang tersisa berkisar 570.847,7 hektar atau telah hilang 63 persen.

Kemudian Sungai Mentaya mengalami dampak paling parah. Tutupan hutan di sekitar sungai ini kini hanya berkisar 19,6 persen.

“Pada tahun 1990, tutupan hutan Sungai Mentaya mencapai 923.493,8 hektar dan kini tersisa 287.714,8 hektar saja,” kata Arie.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *