Beritakalteng.com, PALANGKA RAYA- Pemulihan HAM serta kasus sengketa tanah dipandang perlu adanya komitmen dari pemerintah dan penegak hukum dalam memastikan perlindungan terhadap pembela HAM dan lingkungan hidup yang merujuk kepada penyelesaian konflik.
Namun, dalam penyelesaian konflik saat ini dihadapkan dengan beberapa tantangan diantaranya seperti ijin tumpang tindih yang dikeluarkan pemerintah daerah, peraturan hukum yang belum selesai, delegasi tanggungjawab yang terbatas, serta dokumen ijin dalam transisi.
Wujud upaya penyelesaian yang dilakukan para Non Governmnet Organization (NGO) salah satunya melaksanakan program paralegal komunitas yang secara garis besar bertujuan untuk membangun strategi berlandaskan bukti dalam mencari penyelesaian konflik atas tanah dan lingkungan.
Program tersebut diinisiasi Walhi Kalteng dimana selama dua tahun terakhir ini telah melaksanakan kerja-kerja penanganan kasus di 5 kabupaten, yakni Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Timur, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin, dan Kabupaten Katingan. Melalui identifikasi kasus, pendokumentasian kasus, pelatihan hukum komunitas, hingga pendampingan kasus.
Dari hasil Dialog Publik dan Publikasi Kasus “Mendorong Pemulihan Hak Masyarakat dan Peran Paralegal dalam Penyelesaian Konflik Akibat Transformasi Lahan Skala Besar di Kalimantan Tengah Fase 2” yang dilaksanakan Walhi Kalteng, kamis (27/06) di Hotel Aquarius Kota Palangka Raya.
Direktur Walhi Kalteng, Dimas Novian Hartonoa dalam paparanya menyampaikan, Kalteng memiliki wilayah yang cukup luas. kawasan hutan 2,7 juta Ha lebih. 4,1 juta ha lebih untuk perkebunan kelapa sawit (332 unit), 3,8 juta ha lebih untuk pertambangan (875 unit), dan 4,8 juta ha lebih untuk penebangan log kayu (89 unit).
“per Agustus 2018, status konflik dikalteng Walhi mendokumentasikan ada 344 konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan dengan luasan areal mencakup 151.524 Ha. Sejauh ini pendekatan terhadap pemerintah telah dilakukan. Pemulihan, dan pencapaian utama dari penanganan kasus lebih kepada penerapan non litigasi atau proses mediasi.” jelas Dimas.
Community Lawyer Aryo Nugroho Waluyo dalam paparanya menyampaikan, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun menurunya saat ini penerapan UU tersebut seakan-akan putus sampai ‘kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara’, dan tidak ada kelanjutnya. problematika Kalteng, yang menjadi persoalan utama terkait pemulihan hak dan kasus sengketa tanah diantaranya terjadinya dualisme hukum.
“Yang saya ketahui masyarakat melekat dengan hukum adat sementara negara melekat dengan hukum positif. hal ini menjadi sulit ketika masyarakat ingin mendapatkan haknya ketika masuk kerana pengadilan, belum lagu Masyarakat Adat belum terlindungi, Tidak adanya lembaga penyelesaian konfilk tanah, dan Tidak jalanya penegak hukum.” papar Aryo.
Dirinya berharap perlu adanya lembaga penyelesaian SDM yang bernaung kepada perda, yang berlandaskan hukum setempat dan lokal, tegaknya penegakan hukum dengan melakukan audit lingkungan keseluruhan pemegang ijin konsesi.
Mewakil Komnas HAM RI, Sandra Muniaga menyampaikan, masih banyak kasus bagi pejuang perlindungan ham masih belum terlindungi. Komnas Ham terhadap pembela ham telah melakukan pemantauan kasus yang diadukan, pemberian surat keterangan perlindungan bagi pembela ham, koordinasi dengan kementrian dan lembaga lain, pembentukan tim pembela ham saat ini tengah koordinasi dan kolaborasi advokasi bersama masyarakat sipil.
“catatan dari Komnas Ham, pertama pembela ham termasuk hak atas lingkungan hidup yang berperan penting dalam mendorong kemajuan dan penegakan ham, peregalan dan pembela ham dan lingkungan berada didalam kondisi yang cukup rentan, UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan mengakui adanya hak asasi setiap orang yang diakui, dipenuhi dan dilindungi oleh negara.” papar Sandra Muniaga.
Catatan selanjutnya, dekalrasi PBB tentang pembela Ham hendaknya menjadi rujukan Pemerintah RI untuk mengembangkan sistem nasional perlindungan pembela ham, pemerintah perlu mengembangkan sistem nasional perlindungan pembela ham terutama melibatkan seluru K/L terutama TNI dan Polri.
DPR bersama dengan Pemerintah perlu segera menetapkan UU Perlindungan Pembela ham dan revisi UU No.32 tahun 1999 tentang ham untuk mencantumkan bab perlindungan pembala ham, masyarakat perlu berpartisipasi dalam proses pengembangan sistem perlindungan pembela ham.
Sementara itu, PLT Dinas Lingkungan Hidup, Ibu Nurliani menyampaikan, hal yang dilakukan pemerintah dalam penyelesaikan konfik yang terjadi, pertama verifikasi, klarifikasi, perhitungan kerugian lingkungan hidup, pelaksanaan PSHP, da kesepakatan bersama dan ini sudah kita lakukan.
“2018 cukup banyak kasus yang ditangani berdasarkan rujukan kabupaten/kota yakni sebanyak 12 kasus, dan bebera diantaranya sudah berproses, dan ada juga beberapa pengaduan yang masuk ke kita” jelas Nurliani.
Dalam Dialog Publik dan Publikasi Kasus “Mendorong Pemulihan Hak Masyarakat dan Peran Paralegal dalam Penyelesaian Konflik Akibat Transformasi Lahan Skala Besar di Kalimantan Tengah Fase 2 tersebut hadir Paralegal Komonitas, NGO, Akademisi, dan Mahasiswa dari beberapa Universitas di Palangka Raya.(Aa)