Teknologi Pascapanen Perkuat Ketahanan Pangan: Kalteng Dorong Modernisasi Pertanian di Lahan Pasang Surut Kapuas

Kapuas – Kabupaten Kapuas dikenal sebagai salah satu wilayah dengan potensi lahan pasang surut yang sangat luas, terutama di Kecamatan Kapuas Hilir, Kapuas Kuala, Bataguh, Tamban Catur, dan Kapuas Timur. Lahan pasang surut ini menjadi tumpuan penting produksi padi di Kalimantan Tengah, namun karakteristiknya yang unik—tergenang air secara periodik—kerap menjadi tantangan tersendiri bagi para petani, terutama pada saat panen. Kondisi tersebut sering membuat proses panen membutuhkan waktu lebih lama, tenaga lebih besar, dan meningkatkan risiko kehilangan hasil.

Melihat kondisi tersebut, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah terus memperkuat intervensi dalam mendukung program swasembada pangan nasional. Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah mendorong penerapan teknologi pascapanen modern di daerah sentra produksi padi. Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Provinsi Kalimantan Tengah, Rendy Lesmana, menegaskan pentingnya inovasi teknologi untuk menjawab tantangan pertanian di lahan pasang surut.

“Kegiatan pascapanen padi merupakan salah satu bagian penting dalam upaya percepatan swasembada pangan di wilayah lumbung padi Kalimantan Tengah. Ini bukan hanya program nasional, tetapi juga langkah nyata untuk memberdayakan petani lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa,” ujar Rendy saat ditemui di lokasi panen kelompok tani Borneo Makmur, Desa Terusan Makmur, Kecamatan Bataguh, Senin (14/7/2025).

Pada kesempatan tersebut, turut dilakukan panen padi hibrida varietas Sembada dan Supadi di lahan seluas 3.800 hektare yang mencakup tiga desa, yakni Terusan Makmur, Terusan Karya, dan Terusan Mulya. Rendy menyebut bahwa momentum ini menjadi kebanggaan tersendiri karena mampu menunjukkan potensi besar sektor pertanian Kapuas.

Menurutnya, capaian produktivitas padi mencapai 6,5 ton per hektare, jauh di atas rata-rata produktivitas umum yang berada di angka 5 ton per hektare. Produktivitas yang lebih rendah di bawah angka tersebut biasanya dipengaruhi teknik budidaya, kondisi lahan, jenis varietas, hingga pemilihan pupuk.

“Kita harus membangun kolaborasi yang kuat antara petani, pemerintah, dan seluruh stakeholder. Bersama-sama kita wujudkan swasembada pangan nasional, memastikan ketersediaan beras bagi lumbung pangan, sekaligus membangun kemandirian daerah berbasis potensi lokal,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menambahkan, penerapan mekanisasi pertanian melalui penggunaan Combine Harvester terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas petani. Alat ini memungkinkan proses panen dilakukan jauh lebih cepat dibanding cara tradisional. Jika panen manual bisa memakan waktu berhari-hari hingga berminggu-minggu, Combine Harvester dapat merampungkan pekerjaan yang sama hanya dalam hitungan jam.

“Hal ini sangat krusial di lahan pasang surut, di mana perubahan muka air bisa terjadi begitu cepat. Keterlambatan panen sedikit saja sudah dapat menurunkan kualitas gabah bahkan menyebabkan kerusakan hasil,” jelas Rendy.

Ia menegaskan bahwa Dinas TPHP terus menjalin kerja sama dengan Kementerian Pertanian dan pemerintah kabupaten untuk memastikan pendampingan serta pengawalan di lapangan berjalan optimal, terutama jika ditemukan kendala dalam pemanfaatan sarana pascapanen berbasis teknologi.

Rendy juga menyoroti bahwa keunggulan utama Combine Harvester tidak hanya pada kecepatan, tetapi juga kemampuannya menekan kehilangan hasil panen (losses). Jika panen manual kerap menyebabkan gabah tercecer atau rusak, teknologi ini mampu menekan kehilangan hingga di bawah 3 persen.

“Alat ini memberikan keuntungan ganda: meningkatkan produktivitas dan menaikkan pendapatan petani. Selain itu, kebutuhan tenaga kerja pun dapat dikurangi sehingga biaya produksi menjadi lebih efisien,” tambahnya.

Menurutnya, berbagai manfaat tersebut menjadi bukti bahwa modernisasi pertanian bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak dalam menghadapi tantangan lahan pasang surut yang dinamis.

“Petani tidak lagi harus bergantung sepenuhnya pada metode tradisional. Teknologi pascapanen modern adalah langkah konkret menuju pertanian yang lebih maju serta mendukung kemandirian pangan nasional,” tutup Rendy.

(tr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *