PALANGKARAYA – Dua dusen Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (UPR), Rico Septian Noor dan Kiki Kristanto berhasil lolos seleksi paper dalam 7th Conference Human Rights on “ Human Rights and Sustainable development in Asia the Pacific.”
Kegiatan yang dilaksanakn mulai tanggal 28 sampai 29 Agustus 2024 tersebut dilaksanakan dengan Kerjasama berbagai pihak seperti University of Sydney, Universitas Brawijaya Malang, Universitas Jember, Serikat Pengajar HAM (Sepaham) dan pihak terkait lainnya di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Paper yang dipresentasikan mengangkat persoalan mengenai masyarakat adat dengan judul “Menggagas Konsep Paralegal Dengan Pendekatan 3 (Tiga) Tingkat Dalam Mengembangkan Kapasitas Masyarakat Adat di Indonesia”.
“Sebagaimana dijelaskan bahwa latar belakang mengangkat persoalan tersebut karena faktanya masyarakat adat di Indonesia sampai saat ini masih menjadi kelompok masyarakat yang termarjinalkan, terdiskriminasi dan mengalami berbagai ketidakadilan,” kata Rico Septian Noor, Sabtu (31/8/2024).
Berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi terhadap Masyarakat Adat di Indonesia memperlihatkan gambaran bahwa berbagai regulasi dan kebijakan Pemerintah selama ini ternyata tidak berbanding lurus dengan perlindungan terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat.
Rico menambahkan bahwa terkait hal tersebut ada satu adagium yang menyatakan bahwa keadilan akan datang hanya ketika orang-orang yang tertindas sendiri yang mewujudkannya.
“atau dengan kata lain mereka yang saat ini tidak dapat menikmati sepenuhnya berkah kehidupan manusiawi harus diberdayakan untuk dapat memperoleh kehidupan tersebut. Salah satu upayanya yang dapat dilakukan melalui Paralegal ini,” katanya menambahkan.
Dilain pihak, Kiki Kristanto ketika dihubungi menambahkan bahawa pihaknya sepakat mengangkat tema masyarakat adat ini, karena menilai hingga saat ini masih banyak persoalan terkait masyarakat adat di Indonesia dan hal ini masih menarik untuk dikaji.
“Khususnya bagi kita yang seringkali bersentuhan dan berada langsung di pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Tengah sebagai wilayah yang paling banyak komunitas masyarakat adatnya sehingga tentu kita wajib memperjuangkan hak masyarakat adat,” beber Kiki.
Konsep yang digagas menarik untuk diteliti lebih dalam, mengingat upaya pemberdayaan masyarakat adat saat ini masih belum intensif dan efektif dilakukan.
Terlebih konsep paralegal yang digagas juga dilakukan dengan pendekatan tiga tingkat sebagaimana keduanya menjelaskan konsep tiga tingkat ini mengadaptasi hasil penelitian Kathryn Coulse seorang kandidat doktor yang bekerja di Regional Right Resource Team (RRRT) di Pacipic.
Pihaknya menilai bahwa pendekatan bertingkat perlu dilakukan dengan upaya mendorong peningkatan paralegal di tingkat bawah (Mikro) di masyarakat.
Ditingkat menengah (messo) dengan pengembangan melalui institusi dan stakeholder terkait dan di tingkat atas (makro) dengan mendorong peningkatan paralegal pada tingkat pembuat regulasi dan kebijakan.
“Kami juga membandingkan Paralegal di Indonesia seperti yang dilakukan oleh WALHI dan AMAN serta praktik baik (Best Practice) paralegal di berbagai Negara,” jelasnya lebih dalam.
Untuk diketahui, konferensi tingkat Internasional ini diikuti peserta dari berbagai Negara seperti Australia, Filipina, India, Srilanka, Malaysia dan dari berbagai Universitas di Indonesia dengan tidak kurang dari 150 peserta dengan paper terpilih yang hadir.
Hal terpenting yang diharapkan dari konferensi ini dapat merumuskan berbagai konsep dan gagasan baru yang dapat menjadi Durable Solution yang memprioritaskan hak asasi manusia dan perdamaian di tenga persoalan kesenjangan, konflik, dan tantangan mendesak seperti perubahan iklim dan krisis kesehatan global.(a2)