Foto : Latif Kamarudin

LP3KRI Curigai Pemerintah Barsel Tidak Serius Tangani Covid-19

Foto : Koordinator LP3KRI Barsel Latif Kamarudin

Beritakalteng.com, BUNTOK – Jumlah anggaran pencegahan dan penanganan dampak Corona Virus Disease (Covid-19) sebesar Rp.32,4 miliar, yang dianggarkan oleh Kabupaten Barito Selatan, dicurigai merupakan cerminan ketidak seriusan pemerintah, dalam menghadapi wabah yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi tersebut.

Adalah Koordinator Lembaga Pendidikan Pemantauan Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (LP3KRI) Kabupaten Barito Selatan (Barsel) Latif Kamarudin, yang mencurigai bahwa jumlah anggaran tersebut hanyalah sebagai upaya pemkab, yang berusaha menutupi ketidak mampuan mereka dalam penanganan dampak Covid-19 di Bumi Batuah itu selama ini.

“Dengan dana hanya sebesar itu, apakah cukup untuk penanganan dampak Covid-19 di Barsel? Apakah ini hanyalah upaya pembuktian keseriusan pemkab, ataukah hanya upaya untuk menutup ketidak mampuan mereka dalam penanganan Covid-19 selama ini?” pertanyakan Latif pesimis, Minggu (26/4/2020).

Ia mengkhawatirkan jumlah anggaran Covid-19 yang disiapkan oleh pemkab tersebut, tidak akan mampu menutupi semua kebutuhan pembiayaan kegiatan penanganan dampak Corona, selama tiga bulan seperti yang diproyeksikan.

Apalagi mengingat saat ini, sedikitnya 70 persen warga dari sekitar 150 ribu jiwa penduduk Barsel, terindikasi mengalami dan merasakan dampak dari Sars Cov 2 itu.

Selain itu, kondisi semakin diperparah dengan peristiwa banjir yang menerpa di hampir seluruh desa yang berada di tepian DAS Barito, serta ditambah lagi situasi semakin dipersulit dengan anjloknya harga dua komoditi unggulan warga, yakni rotan dan karet.

“Saya rasa dana itu (anggaran Covid-19) tidak akan mampu menutupi semua pembiayaan, meskipun hanya untuk kurun waktu tiga bulan kedepan,” tuturnya.

Bahkan menurut Latif lagi, ketidak seriusan pemkab Barsel dalam menangani Covid-19 ini semakin tampak jelas.

Pasalnya apabila mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri, yakni Menteri Keuangan (Menkeu) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI, yang memerintahkan agar setiap daerah segera menyampaikan laporan refocusing anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) selambat-lambatnya pada Kamis (23/4/2020).

Maka Barsel merupakan salah satu daerah yang paling lambat, karena baru mengajukan usulan anggaran tersebut pada akhir jadwal yang sudah ditetapkan oleh SKB dua Menteri.

“Kenapa baru diajukan di akhir batas waktu yang ditentukan, selama dua minggu sejak diterbitkannya SKB dua Menteri tanggal 9 April lalu, pemkab melakukan apa saja?” dipertanyakan Latif lagi.

Lanjut Latif, ketidak seriusan pemerintah Barsel ini, juga terlihat dari enggannya beberapa Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) di lingkup pemkab, dalam mengalihkan anggaran proyek fisik untuk penanganan Covid-19.

“Sebagian besar Kabupaten/kota di Kalteng secara tegas dalam realokasi anggaran, dengan mengalihkan semua anggaran proyek fisik mereka untuk penanganan Covid-19. Bahkan Kabupaten Pulang Pisau misalnya, mereka memangkas anggaran 50 persen dari total APBD dialihkan ke penanganan Covid-19,” tukas Latif mencontohkan.

“Ada apa dengan Barsel yang hanya berani menganggarkan Rp 32,421 miliar saja, padahal masih banyak proyek fisik yang belum dilakukan pemangkasannya. Apakah karena sudah terima fee atau ada masalah lainnya?” sambungnya mempertanyakan.

Ditegaskannya lagi, seharusnya pemkab berpedoman pada Permendagri Nomor 20 Tahun 2020 dan juga mentaati instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2020 tentang pencegahan penyebaran dan percepatan penanganan Covid-19 dilingkungan pemerintah daerah. Bahwa refocusing dan realokasi masing-masing daerah dilakukan melalui optimalisasi penggunaan “belanja tidak terduga” di lingkungan pemkab.

Dengan ihtisar penting, yaitu fokus utama pemerintah adalah pengendalian penyebaran Covid-19 dan penanganan baik dari sisi kesehatan, ekonomi maupun ketahanan pangan daerah dengan jaring pengaman sosialnya.

Dijelaskannya, dalam bidang kesehatan Pemda diberi ruang yang luas untuk mengalokasikan anggaran seperti penyediaan sarana kesehatan berupa APD bagi petugas medis, pelatihan singkat penanganan Covid-19, insentif tenaga kesehatan dan hal lain yang terkait bidang kesehatan yang dipandang urgen oleh pemda setempat.

Dalam penanganan dampak ekonomi, Pemda juga bisa memberikan pengurangan pajak dan pembebasan pajak, perpanjangan waktu pemenuhan perpajakan daerah dan retribusi daerah, pemberian dana stimulan kepada UMKM dan penanganan dampak ekonomi lainya.

Dalam Jaring Pengaman Sosial, bisa melalui mekanisme hibah atau bantuan sosial (bansos) bagi personal maupun kelompok usaha tertentu, namun tetap berbasis usulan untuk penanganan Covid-19.

“Terkait hal tersebut, Pemda bisa memberikan analisa secara matang berdasarkan bukti-bukti yang dihadapi oleh calon penerima hibah dan bansos. Selanjutnya kepala daerah menerbitkan surat keputusan (SK) sebagai dasar hukum pelaksanaannya,” tutur Latif.

Kemudian, Latif juga mengingatkan agar komponen Belanja Langsung (BL) dan Belanja Tidak Langsung (BTL), harusnya disaring terlebih dahulu secara menyeluruh kemudian disisir, barulah kemudian dialihkan untuk penanganan Covid-19.

BL terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal, ditambah BTL seperti belanja bansos, hibah dan pengeluaran tak terduga, sehingga semua komponen secara kuantitatif terkontraksi secara seimbang. Sebab sesuai dengan penjabaran maksud dari SKB dan Permendagri Nomor 20 Tahun 2020, adalah adanya keseimbangan (balancing) refocusing dan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19.

Sehingga di dapat komposisi yakni 50 persen dari belanja barang/jasa dan 50 persen dari belanja modal (dari sisi BTL), kemudian dikuatkan dengan Pengeluaran Tak Terduga, bansos, hibah, dan lainnya (dari BL).

“Dengan begitu, skema refocusing APBD tahun 2020 setiap daerah, bisa lebih terfokuskan untuk penanganan Covid-19, sederhananya adalah 50 persen APBD di realokasi untuk penanganan Covid-19 (fokus), ini yang diinginkan oleh pemerintah pusat,” terangnya.

“Sementara, berdasarkan data yang kita terima, terjadi kesenjangan tinggi antara alokasi anggaran di Barsel terhadap kebutuhan penanganan Covid-19. Ini akan menimbulkan dampak luas, khususnya terhadap penanganan dampak sosial dan ekonomi masyarakat,” tandasnya.

“Karena alokasi anggaran tersebut harus dibagi kedalam tiga komponen utama, yakni penanganan bidang kesehatan dan penanganan sektor ekonomi berbasis UMKM serta jaring pengaman Sosial/safety net, bisakah dengan rata-rata Rp 10 miliar tersebut kita mengawal Barsel selama masa pandemi sampai 31 Desember mendatang,” ucapnya menyangsikan.

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, di Barsel sendiri, Pemda setempat hanya mengalokasikan dana untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp. 32,42 miliar, dari jumlah APBD Rp. 1,178 triliun, yang terdiri dari BL Rp. 463,1 miliar dan BTL : Rp. 651,6 miliar, atau hanya sebesar 2,71 persen dari total APBD.

Dengan rincian, Pendapatan APBD Murni Tahun 2020, Rp 1.093.703.182.868,23 Asumsi penyesuaian berdasarkan PMK 35 Tahun 2020 Rp 941.156.020.690,77, selisih penyesuaian Rp 152.547.162.177,46 atau sebesar 13,95 persen, Total belanja Rp 1.178.858.364.789,82, asumsi penyesuaian Rp 1.114.842.137.920,32, selisih Rp 64.016.226.869,50 atau sebesar 5.43 persen, sedangkan untuk BTL adalah senilai Rp 623.808.528.939,82, asumsi penyesuaian Rp 651.643.552.725,82, selisih Rp 27.835.023.786,00 atau sebesar 4,46 persen, BL Rp 555.049.835.850,00, asumsi penyesuaian Rp 463.198.585.194,50, selisih Rp 91.851.250.655,50 atau sebesar 16,55 persen.

Hal inilah, yang kemudian membuat pihak legislatif menilai bahwa pemerintah Barsel dibawah kepemimpinan Bupati Eddy Raya Samsuri telah berpotensi melanggar ketentuan SKB Dua Menteri tersebut, karena tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah pusat.

Sebagaimana disampaikan oleh Ketua DPRD Barsel Ir. HM. Farid Yusran, seusai rapat pembahasan refocusing dan realokasi anggaran Covid-19 lanjutan dengan pihak eksekutif, Kamis (23/4/2020) lalu, menilai bahwa sikap eksekutif tersebut tidak peka atas situasi nasional kekinian dan apa yang menjadi keinginan pusat.

“Nah ini, bila menurut SKB dua Menteri, seharusnya disisir lagi, 50 persen dari belanja barang dan jasa dan dari belanja modal juga 50 persen, yang terjadi saat ini eksekutif tidak melakukan itu, kita anggap mereka melanggar SKB 2 Menteri itu, karena berencana utang dari pihak ketiga, seharusnya tidak perlu ngutang,” kritisi polisi PDIP tersebut.

Selain itu, pemerintah pusat menginginkan setiap daerah mengalokasikan anggaran untuk penanganan Covid-19 sampai dengan 31 Desember 2020, bukan hanya tiga bulan atau enam bulan saja, mengingat tidak ada satupun orang yang tahu sampai kapan pandemi Covid-19 akan mereda. Sehingga langkah antisipasi, saat ini menjadi sangat penting bagi setiap daerah.

Wajar apabila DPRD Barsel kemudian merasa kecewa atas alokasi anggaran yang sangat minim tersebut, dan pesimis pemerintah daerah mampu menyelesaikan permasalahan yang urgen di Barsel.

“Prinsifnya kita sepakat dengan anggaran yang mereka (eksekutif) ajukan, yakni sebesar Rp.32,421 miliar. Walaupun kita agak pesimis dengan kecilnya angka (yang diajukan) itu,” tandasnya.

Sementara itu, berdasarkan informasi yang diperoleh awak media dari Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Barsel Akhmad Akmal, Jum’at (24/4/2020) lalu, usulan refocusing dan realokasi anggaran Covid-19, masih menunggu hasil evaluasi dari pihak Kementerian.

“Saat ini kita masih menunggu hasil evaluasi Kementerian. Jumlahnya masih fluktuatif, bisa berubah bisa juga tetap,” bebernya.

Selanjutnya, Akmal juga menerangkan, dikarenakan pihaknya tidak mengetahui pasti apakah berdasarkan jumlah APBD murni ataukah pascarasionalisasi yang akan menjadi ukuran penghitungan oleh Kementerian. Maka ia tidak begitu yakin, apakah jumlah anggaran yang diajukan oleh pihaknya akan disetujui.

“Kalau kita dengar dari kawan di Kabupaten lain, informasinya yang menjadi ukuran Kementerian adalah APBD murni, sedangkan (yang diajukan) kita kemaren itu adalah hitungan rasionalisasi dari (APBD) sisa terpakai,” ungkapnya.

Diakui oleh Akmal, jumlah anggaran yang diajukan tersebut memang tidak memenuhi target sesuai dengan SKB dua Menteri, yakni rasionalisasi sebesar 50 persen.

Hal itu, jelasnya, dikarenakan ada sebagian SOPD yang tetap mempertahankan jumlah anggaran mereka, sebab merupakan dana kebutuhan dasar, seperti dana pembayaran gaji honorer, listrik, air, tagihan internet dan lainnya.

“Memang ada sebagian SOPD yang tetap mempertahankan jumlah anggaran mereka, karena harus memenuhi anggaran kebutuhan dasar kantor, sebab kita kan tidak libur semua,” terang Akmal.(Sebastian)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *