Rektor UPR Ingin Adanya UU Pengakuan Masyarakat Hukum Adat

BeritaKalteng.com, PALANGKA RAYA – masyarakat adat dan masyarakat hukum adat, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sebabnya, dimana masyarakat adat berdomisili pada satu wilayah, yang sudah secara turun temurun, di situ pula terdapat norma-norma atau sistem nilai-nilai sosial budaya agama dan hukum, yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat setempat.

Saat dibincangi BeritaKalteng.com, Rektor Univesitas Palangka Raya (UPR), Dr Andrie Elia Embang SE MSi mengatakan, mengutip pengertian yang di sampaikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang mendefinisikan Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur, secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum Adat dan Lembaga Adat, yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.

Dr Andrie Elia Embang juga menyebutkan, sebagaimana telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada BAB I butir 31, dijelaskan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim, di wilayah geografis tertentu, karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.

“Suku Dayak di Kalteng, merupakan contoh masyarakat adat yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang hidup dan tinggal secara turun temurun di wilayah Kalteng. Adanya, adat istiadat dan tradisi yang menjadi norma dan sistem nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum, yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Seperti, adanya ritual kawin adat, kematian, kelahiran dan lainnya, serta keberadaan lembaga Damang dan Mantir membuktikan eksistensi masyarakat adat, di Kalteng itu ada.”

“Jadi, ketika adanya pernyataan bahwa di Kalteng ini, tidak ada masyarakat adat, maka itu tidak lah benar dan pernyataan itu saya anggap keliru. Keberadaan masyarakat adat, sedari dulu sudah ada, sejak manusia pertama atau para leluhur masyarakat Dayak, hidup dan tinggal di wilayah Kalteng, di Bumi Tambun Bungai ini,” jelas Dr Andrie Elia Embang, Jumat (21/06) siang ini.

Sosiolog yang juga selaku Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng ini juga mengutarakan, norma atau sistem nilai-nilai yang ada masyarakat adat Dayak Kalteng, itu merupakan sebuah aturan yang wajib dipatuhi, oleh seluruh masyarakat yang tinggal di wilayah Kalteng, meskipun itu hanya sebagai pendatang.

Adanya istilah, ‘di mana bumi di pijak di situ di situ langit di junjung’, serta adanya prinsip ‘Belom Bahadat’ menjadi hal yang wajib dijalankan, dalam bermasyarakat. Artinya, siapapun itu orangnya, ketika berada dan tinggal di wilayah Kalteng, harus menghargai norma-norma dan mematuhi semua nilai-nilai yang berlaku di masyarakat adat Dayak Kalteng.

Lanjutnya, meskipun aturan-aturan itu tidak tertulis, namun masyarakat yang ada didalamnya, telah menyepakati secara bersama-sama, untuk mengatur semua interaksinya di masyarakat.

“Buktinya, dulu pada tahun 1894, masyarakat Dayak se Kalimantan, melakukan sebuah kesepakatan Tumbang Anoi. Dimana, saat itu suku-suku Dayak di seluruh Kalimantan berkumpul di Desa Tumbang Anoi, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalteng. Adapun tujuan perundingan itu, untuk melahirkan sebuah kesepakatan, agar menghapus tradisi mengayau dan saling memperbudak/hajipen,” terangnya.

Kembali ditambahkannya, sejak tahun 2016 lalu, di Kalteng sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng. Ini lah bukti adanya pengakuan secara yuridis dari pemerintah daerah, atas keberadaan masyarakat adat di Kalteng.

“Selain itu, Perda itu harusnya juga didukung pula, dengan adanya Undang-undang (UU), yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Hal ini, sesuai dengan ketentuan yuridis nya. Karena, selama ini secara UU, yang mengatur atau memberikan pengakuan Masyarakat Hukum Adat masih belum ada. Harapan saya, kedepannya pemerintah dapat melakukan pembahasan atas UU ini. Sehingga, tidak ada lagi yang memiliki pandangan, bahwa antara Masyarakat Adat dan Masyarakat Hukum Adat adalah dua hal yang terpisah. Yang benar, adalah kedua ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,” tutupnya. (YS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *