FOTO : Prof. Dr. Andrie Elia, SE., M.Si. ketika dikukuhkan secara langsung sebagai Guru Besar atau Profesor oleh Prof.Dr.Ir. Salampak, MS selaku Rektor Universitas Palangka Raya (UPR), Kamis (12/10/2023)

Prof Andrie Elia Sampaikan Orasi Ilmiah Sosiologi Ekonomi dalam Isu Globalisasi dan Demokrasi

PALANGKARAYA – Runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an menandai berakhirnya sistem politik satu partai yang dikembangkan oleh Vladimir Lenin. Demikian hal itu disampaikan oleh Prof. Dr. Andrie Elia, SE., M.Si., saat memaparkan orasi ilmiahnya tentang ‘Sosiologi Ekonomi dalam Isu Globalisasi dan Demokrasi’ pada acara pengukuhan Guru Besar bidang Sosiologi FISIP UPR, Kamis (12/10/2023) pagi, di Aula Rahan, Lantai 2 Gedung Rektorat UPR, Jalan Hendrik Timang, Kota Palangka Raya.

Pada paparan, Prof. Andrie Elia menyebutkan pada masanya sistem politik yang di kembangkan oleh Uni Soviet tersebut merupakan ancaman bagi sistem demokrasi liberal. “Momentum tersebut disertai dengan adanya tekanan dari International Monetary Fund (IMF) terhadap negara berkembang, serta opini publik dunia menjadi kesempatan untuk tumbuh suburnya sistem demokrasi dan pasar bebas,” ungkapnya.

Ia mengutarakan sejak era 1980-an globalisasi menjadi perbincangan oleh khalayak umum dan telah menimbulkan pengaruh besar terhadap seluruh sendi kehidupan manusia. Globalisasi merupakan perkembangan kontemporer terhadap perubahan dunia yang mempengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi suatu bangsa. Pengaruh globalisasi dapat menghilangkan sekat-sekat teritorial sebuah daerah atau negara.

Dalam hal ini globalisasi akan menghilangkan berbagai hambatan yang membuat dunia semakin terbuka serta saling membutuhkan satu sama lain. Secara sederhana globalisasi membawa pandangan baru tentang konsep dunia tanpa batas (state without borderless).

“Mengutip pendapat Waters, globalisasi merupakan sebuah proses sosial di mana batas-batas geografis tidak penting terhadap kondisi sosial budaya. Perihal ini uraian dengan nilai subtansi yang sama di kemukakan oleh Giddens yang menyatakan bahwa globalisasi adalah saling ketergantungan antara negara satu dengan negara yang lain, serta manusia satu dengan manusia yang lain melalui perjalanan, pariwisata, perdagangan budaya informasi serta interaksi yang luas di antara masyarakat, sehingga dunia seakan-akan tanpa memiliki batasan.” ungkapnya lagi.

Selanjutnya, Prof. Andrie Elia mengatakan secara praktis globalisasi merupakan perubahan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya serta politik yang berkombinasi dalam upaya membentuk tatanan global yang unik, ekstensif serta intensif dalam membentuk komunitas politik. Secara spesifik Held mengartikan demikian dengan negara modern.

“Globalisasi telah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Pada gilirannya perubahan tersebut berdampak pada kapasitas negara dalam melakukan regulasi baik internal maupun eksternal. Negara-negara tidak bisa dipungkiri lagi telah memiliki ketergantungan terhadap aktor lain di luar dirinya untuk menentukan kebijakan atau keputusan yang bersifat regional, nasional, dan global,” urainya.

ia menuturkan secara historis globalisasi mempunyai tradisi akar yang sangat panjang dalam peradaban manusia. Namun, dalam perkembangannya besaran, intensitas dan kecepatan serta dampaknya akan berbeda apabila dibandingkan dengan masa lampau. Hal demikian dapat dilihat dari tahun 1950-an sampai pada tahun 2000-an ekspor negara kita misalnya, yang diukur dari rasio GDP ternyata meningkat sebesar 15-20% dari sebelumnya yang hanya di bawah 10 persen.

“Hal lain yang cukup nampak dari globalisasi adalah dalam bidang keuangan. Setiap harinya pertukaran pasar luar negeri telah meningkat secara signifikan melebihi 15 triliun Dolar Amerika Serikat. Apabila di bandingkan dengan era tahun 1970-an maka angka demikian meningkat 10 kali dari jumlah perdagangan dunia, dan sekarang sudah mencapai 60 kali lipat perdagangan dunia,” urainya lagi.

Kembali, Prof. Andrie Elia mengatakan hal demikian menunjukkan bahwa perdagangan dunia serta aliran modal global tidak saja ber- langsung dengan intensif, melainkan dengan kecepatan serta besaran yang jauh dibandingkan dengan masa-masa sebelum- nya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa pergerakan perdagangan serta modal global membawa implikasi serius terhadap perekonomian suatu negara, terlebih lagi bagi negara-negara yang mengintegrasikan dirinya ke dalam perekonomian global.

“Dampak globalisasi terhadap ekonomi nasional akan berlangsung dalam tiga mekanisme yakni tekanan perdagangan yang semakin kompetitif, produksi multinasional serta integrasi pasar keuangan,” ujar dia.

Ia kembali menguraikan kompetisi yang menajam di antara berbagai negara dalam melakukan perdagangan merupakan komponen utama dalam tesis-tesis global konvensional. “Diakui atau tidak kompetisi semacam ini menjadi pengakuan secara umum yang dilakukan dalam perdagangan pasar global, meskipun dalam praktiknya tidak hanya melakukan perdagangan, melainkan juga memperebutkan investasi,” ujarnya lagi.

Diterangkannya, mekanisme kedua berkaitan dengan multi-nasional produksi serta ancaman perusahan-perusahaan multinasional yang dapat memindahkan produksinya dari satu negara ke negara yang lain dalam upaya untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Multi-nasionalisasi ini berakibat pada biaya produksi dan pemerintahan yang intervensionis.

“Berkaitan dengan hal ini pemerintah nasional harus menerapkan kebijakan pasar bebas untuk berkompetisi dalam memperebutkan investasi serta penyediaan sumber tenaga kerja oleh perusahan multinasional,” kata dia.

Kemudian, Diutarakannya, mekanisme ketiga adalah sebuah keharusan bagi negara untuk melakukan integrasi pasar finansial yang merupakan dampak dari globalisasi bagi ekonomi nasional. Integrasi finansial ini berdampak terhadap otonomi nasional, mengingat aliran keuangan tidak dapat dikontrol oleh kekuatan manapun. “Aliran keuangan internasional tersebut bergerak tersembunyi, sehingga sulit terdeteksi, namun nyata adanya.” katanya lagi.

“Proses integrasi perekonomian nasional ke dalam perekonomian global nampaknya menjadi pemahaman globalisasi yang dominan. Mengakarnya globalisasi sebagai proses demikian disebabkan oleh integrasi ekonomi dan pasar keuangan yang digerakkan oleh kebijakan neoliberal di seluruh penjuru dunia,” bebernya.

Kebijakan demikian disandarkan pada pasar bebas yang secara ideologis perjuangannya dimulai dari gerakan kanan di Amerika Serikat dan Inggris. Neo liberalisasi dalam globalisasi ini berpengaruh pada setiap dimensi kehidupan sebagai perwujudan kolonisasi homo economicus atas homo yang lainnya.

“Bahkan demikian dalam pandangan Marx bahwa globalisasi juga membawa agen imperialisme, yang disandarkan atas kecenderungan dalam mengglobalisasikan objek-objek tertentu salah satunya perihal ekonomi dan pasar bebas,” bebernya lagi.

Dijelaskan, Globalisasi neo-liberal menampakkan wujudnya sebagaimana oleh Marx katakan sebagai imperialisme. “Tatanan globalisasi dalam kehidupan masyarakat mengacu pada adagium hukum rimba yakni siapa yang kuat akan berjaya dengan memangsa yang lemah, dan berlaku sebaliknya siapa yang lemah akan ditindas dan tertinggal atau dalam istilah Bourdieau dengan sebutan hukum Darwinisme sosial,”

“Tatanan neo-liberal perihal etika atau normatif etis atau dalam istilah lain adalah kebaikan bersama, tidak lagi menjadi prioritas tujuan utama melainkan hanya sebagai hasil sampingan dari perilaku ekonomi politik,” ungkapnya.

Sisi lain, Ia pun menyebutkan yang mendapatkan imbas globalisasi tak kalah pentingnya adalah berkenaan dengan demokrasi politik. “Demokrasi adalah perwujudan dari kebebasan untuk mem- formulasikan serta menganjurkan dalam menentukan alternatif dalam politik yang secara bersamaan dibarengi dengan adanya kebebasan ekspresi, kebebasan berbicara dan kebebasan dasar manusia lainnya,”

“Adanya kompetisi yang bebas serta tanpa ada kekerasan di antara pemimpin politik yang secara periodik harus melakukan validasi hukum, memasukan jabatan alternatif bagi semua komponen dalam proses politik, apapun preferensi politik yang dimilikinya. Berlandaskan dari pendapat ini maka, demokrasi menyebatkan adanya kebebasan untuk membentuk partai politik, melaksanakan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil secara teratur,” ungkapnya lagi.

Prof. Andrie Elia pun mengutarakan adanya hubungan antara globalisasi ekonomi dan demokrasi dapat dilihat dalam tiga kelompok pemikiran besar yang berkembang. Kelompok pertama adalah mereka yang berpandangan bahwa kapitalisme bertentangan dengan demokrasi.

“Kelompok ini mengatakan bahwa muatan demokrasi adalah produk dari perjuangan kelas dan gerakan rakyat, bukan merupakan bagian integral dari adanya ekspansi pasar global. Dari titik ini mereka menganggap gabungan antara kapitalisme dan demokrasi adalah sesuatu hal yang kontradiktif yang ditopang oleh equilibrium politik. Lebih tegas lagi mereka menganjurkan agar kekuatan demokrasi bersikap waspada terhadap kecenderungan otoritarianisme yang inheren dalam kekuasan kapitalis,” terangnya.

Ia menyebutkan berbeda dengan pandangan pertama, kelompok kedua menganggap bahwa kapitalis dan demokrasi mempunyai pertautan atau hubungan yang saling terkait.

Adanya pasar bebas serta pemilihan umum yang bebas dipandang sebagai proses atau simbiosis mutualisme atau saling memperkuat atau yang pada gilirannya salah satu dianggap sebagai penguat prakondisi dalam menciptakan sebuah demokrasi.

“Perihal ini Sorensen mengatakan bahwa liberalisasi ekonomi akan membesarkan kekuatan perkembangan ekonomi untuk menciptakan kondisi bagi demokrasi atau malah liberalisasi politik dan demokrasi akan menciptakan kondisi pembangunan ekonomi nasional yang lebih baik,” terangnya lagi.

Lebih lanjut, Prof. Andrie Elia mengatakan pemikiran kedua ini berasumsi bahwa adanya pasar bebas akan memperbanyak pilihan, menumbuhkan semangat kompetisi individualisme serta memajukan pluralisme sosial, di mana beberapa hal ini adalah merupakan bagian terpenting dari pelaksanaan sistem demokrasi.

“Maka karena itu, sistem politik yang demokratis sebagai sarana dalam menyelamatkan kondisi-kondisi kapitalisme yang dipandang sebagai bentuk yang paling efektif dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Baik pandangan pertama atau kedua, telah mendominasi dalam diskursus ekonomi politik sejak era tahun 1960-an,” urainya.

Namun, Kata dia, dari kedua kelompok ini, kemudian muncul sebagai pendaku alternatif dalam memahami kerangka hubungan antara globalisasi ekonomi dengan demokrasi.

Menurut pandangan ini, tampaknya pandangan pertama atau kedua telah melupakan sentralisasi aturan main dalam mendefinisikan politik secara independen yang berasal dari gerakan rakyat atau pasar kapitalis.

“Mereka berpandangan bahwa aturan main persaingan politik akan menjamin bahwa kekuatan-kekuatan politik yang bersaing akan menerima hasil-hasil pemilihan umum dan proses demokrasi yang lain dengan asumsi pemegang ke- kuasaan dapat mempertahankan kekuasaannya, sementara dari bilik lain kelompok oposisi mempunyai peluang yang sama dalam memperuntukkan kekuasaan tersebut bagi kepentingan golongan atau kelompoknya,” urainya lagi.

Diungkapkan, Pengelompokan ini nampaknya hanya melihat globalisasi kapitalis dalam mempengaruhi demokrasi, yang secara saksama dapat kita lihat kelemahannya adalah akan mereduksi pemahaman globalisasi hanya sebatas dengan perihal ekonomi.

“Padahal kita ketahui bersama bahwa globalisasi mencakup dimensi yang sangat kompleks, baik dari segi ekonomi, budaya, sosial serta juga politik. Oleh karena itulah pengelompokan tersebut kurang mampu mendeskripsikan dinamika demokrasi ketika konfigurasi ekonomi sosial politik serta budaya mengalami perubahan akibat globalisasi,” ujarnya.

Selanjutnya, Prof. Andrie Elia menyebut pada titik kelemahan ini perlu kiranya untuk mengem- bangkan tipologi yang lebih komprehensif mengenai hubungan globalisasi dengan demokrasi. Beberapa pakar dan ilmuwan yang menaruh minat dalam melihat hubungan globalisasi dapat dibedakan dalam tiga arus pemikiran.

Pertama, kelompok yang optimis dalam melihat perkembangan hubungan antara globalisasi dan demokrasi. Sejak keruntuhan Uni Soviet, demokrasi liberal tumbuh dengan subur, hal ini disebabkan oleh tidak adanya pesaing utama. Sehingga akibatnya sekarang ini kebanyakan negara di dunia mengaku sebagai negara yang demokratis. Negara-negara Eropa Timur serta Rusia kini juga telah mulai mengadopsi sistem demokrasi. Adapun dalam tatanan global setiap negara di berbagai belahan dunia kini tengah melangkah ke arah sistem demokrasi liberal atau dalam istilah Fukuyama sebagai “the ideal state”.

Sementara pemikiran kedua membawa pandangan yang pesimis atau bahkan skeptis bagi perkembangan demokrasi. Pertimbangan keberatan terhadap realitas demokrasi ini disebabkan oleh menguatnya korporasi serta elite global yang sangat berkuasa. Globalisasi telah menghadirkan ekonomi global yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan global yang tidak dapat dikontrol.

Aktor kunci dalam permainan ini adalah korporasi transnasional. Bertemunya antara aktor politik serta perusahaan transnational sukses dalam   mengampanyekan ke seluruh dunia bahwa tidak ada alternatif lain bagi negara untuk menopang ekonominya kecuali dengan jalan kapitalisme global.

Argumentasi yang sering digunakan oleh korporasi ini adalah menuju kemakmuran bersama dengan jalan kompetisi internasional yang diputuskan melalui pasar bebas dan perdagangan bebas.

Kelompok pemikir ketiga memiliki pandangan bahwa demokrasi harus di pertahankan, namun untuk mencapai hal tersebut ada prasyarat yang diajukan. Argumen yang mereka tandaskan berkenaan dengan kenyataan bahwa globalisasi telah mengurangi otonomi serta kedaulatan negara.

Globalisasi telah mendorong terjadinya integrasi ekonomi dalam konteks perekonomian global, menciptakan kesalinghubungan serta saling ketergantungan antar sub-sistem sehingga kebijakan yang diputuskan oleh sebuah negara akan berdampak pada negara yang lainnya.

“Dalam melihat hubungan globalisasi dengan demokrasi sebenarnya tergantung seberapa besar ruang gerak yang diberikan oleh globalisasi terhadap demokrasi,” ujarnya lagi.

Hal demikian, ada dua konsep yang diajukan dalam menentukan pengaruh globalisasi. Apakah menjadi ancaman atau menjadi harapan atau peluang pada masa depan. Konsep yang diajukan berkaitan dengan otonomi dan kesetaraan.

“Apabila globalisasi mendorong otonomi serta kesetaraan yang lebih luas, maka dapat dipastikan globalisasi mempunyai masa depan yang cerah terhadap perkembangan demokrasi. Namun demikian juga berlaku sebaliknya, yakni dapat mengakibatkan kemunduran,” kata dia.

Menurut Prof. Andrie Elia, Otonomi mengandung pengertian bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan pertimbangan secara sadar diri, melakukan perenungan diri, dan melakukan penentuan diri.

“Otonomi mencakup kemampuan untuk berunding, mempertimbangkan dan memilih serta melakukan perbuatan, baik dalam kehidupan pribadi ataupun kehidupan publik sesuai dengan orientasi kebaikan umum dan kebaikan demokrasi.

“Prinsip ini mengandung dua gagasan pokok yakni, rakyat memegang peranan penting dalam penentuan diri, dan di sisi lain pemerintahan yang demokratis menjunjung tinggi kekuasaan yang dibatasi secara resmi oleh lembaga perwakilan   rakyat,” katanya lagi.

Lebih dalam, Prof. Andrie kembali mengungkapkan prinsip otonomi merupakan inti dari proses demokrasi yang berisi pandangan mengenai negara yang legal demokratis sebagai dasar untuk memecahkan ketegangan yang muncul antara diskursif negara modern dan negara demokrasi.

Dalam konteks ini demokrasi kosmopolitan merupakan konsepsi hubungan legal demokratis yang disesuaikan dengan tepat dengan dunia bangsa yang terjerat dalam jaringan, baik regional dan global.

“Ketiga konsep tersebut merupakan sebuah kerangka kerja baru dalam pengembangan sebuah teori demokrasi. Jika demokrasi diartikan sebagai pemerintah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, maka penentuan dalam pembuatan keputusan atau kebijakan publik dilakukan oleh anggota komunitas politik yang sama secara bebas. Maka dasar legitimasinya adalah pada kemajuan dan peningkatan otonomi warga negara, baik secara individual maupun komunal.” bebernya.

Ia pun mengutarakan kesetaraan dalam konteks ini merujuk pada konsepsi politik bahwa individu harus mempunyai kesamaan politik yang setara agar proses politik dapat berjalan secara demokratis.

“Jika ketidaksetaraan semakin lebar maka proses demokrasi juga akan semakin berkurang. Ketidaksetaraan yang bersumber dari kapitalisme berimplikasi terhadap munculnya kesenjangan yang serius dalam berpolitik di antara warga negara,” bebernya lagi.

Hal demikian, Menurut dia, dapat terjadi dikarenakan oleh penguasaan sumber-sumber ekonomi langka dalam masyarakat, yang pada akhirnya juga merepresentasikan dalam bentuk penguasaan politik.

Pada gilirannya orang-orang yang memiliki kekayaan akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mempengaruhi proses-proses politik. Pada akhirnya adanya ketidaksetaraan ekonomi dapat menyebabkan ketidaksetaraan politik.

“Berkaitan dengan kedua penyokong utama tersebut, yakni otonomi dan kesertaan, tampaknya globalisasi memberikan sumbangan yang tidak begitu bagus. Para pemikir kritis telah menganalisis perihal adanya globalisasi yang menyebabkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan,” kata dia.

Oleh karenanya globalisasi memberikan kontribusi yang bisa dikatakan buruk dalam perkembangan demokrasi. Meskipun demikian belum tentu globalisasi tidak memiliki sumbangan apapun bagi demokrasi.

“Munculnya korporasi multinasional sebagai perwujudan kekuatan ekonomi global merupakan institusi pengendali yang paling dominan dan memiliki ukuran serta kekuatan yang lebih besar di bandingkan dengan pemerintah,”

“Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kepentinganlah yang menjadi penentu dalam agenda politik negara-negara di dunia, yakni berdasarkan kepentingan korporasi perusahan bukan pada kepentingan manusia,” katanya lagi.

Dari berbagai uraian yang sudah dipaparkan di atas, Ia pun menyimpulkan ternyata globalisasi malah cenderung menciptakan kegagalan untuk mencapai sebuah kemakmuran. Adanya kemiskinan serta kesenjangan dalam pendapatan akan mengurangi kesetaraan politik serta otonomi setiap warga negara.

“Dengan demikian globalisasi neo-liberal telah membuat demokrasi berada dalam kondisi krisis. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa globalisasi juga mempunyai kontribusi dalam perkembangan demokrasi, setidaknya hal ini terlihat dari adanya kontribusi globalisasi dalam informasi yang telah mendorong penyebaran ide-ide tentang demokrasi,” ungkapnya.

Selain itu, ujar Prof. Andrie Elia, adanya rezim otoritarianisme dalam sebuah pemerintahan yang cenderung menindas, juga mendapatkan tekanan dari dunia internasional melalui globalisasi informasi.

“Bersamaan dengan hal itu, kekuatan-kekuatan non pemerintah kini mulai gencar dalam mengkampanyekan demokrasi melalui berbagai event mulai dari seminar dan konferensi antar negara demokrasi sebagai inspirasi bagi gerakan demokrasi di negara otoriter,” ungkapnya lagi.

Sementara itu ada hal lain yang dibutuhkan oleh negara demokrasi. “Menurut Giddens dikatakan bahwa mengarahkan negara demokrasi memerlukan pendalaman demokrasi atau istilah lain adalah demokratisasi atas demokrasi,” urainya.

Prof. Andrie Elia mengungkapkan pendalaman demokrasi ini menurut Giddens diperlukan karena mekanisme lama pemerintahan tidak berjalan dalam sebuah masyarakat di mana warga negaranya hidup dalam informasi yang sama dengan yang berkuasa. Oleh karena itulah pemerintahan negara perlu didemokratisasikan agar peran rakyat menjadi lebih optimal.

Demokratisasi atas demokrasi ini akan mengambil bentuk yang berbeda-beda dalam berbagai negara, tergantung pada latar belakang politik masing-masing negara.

Demokratisasi demokrasi seringkali mengimplikasikan reformasikonstitusional dan pengembangan transparansi dalam urusan politik. Selain itu, perlu adanya eksperimen dengan prosedur demokrasi alternatif, khususnya jika prosedur semacam ini dapat membuat keputusan politik yang dekat dengan kepentingan warga sehari-hari. Dengan demikian, maka keputusan politik tersebut dapat diterima oleh mayoritas rakyat, karena didasarkan pada demokrasi yang merupakan pilar dalam penyelenggaraan negara.

“Menurut Giddens, perlu dipahami bahwa tidak hanya ada dua sektor dalam masyarakat, yaitu negara dan pasar, atau wilayah publik dan wilayah perorangan, namun, di antara keduanya terdapat pula masyarakat sipil, termasuk keluarga dan lembaga non-ekonomi lainnya,” urainya lagi.

Oleh karena itu, penting kiranya dikemukakan suatu gagasan baru yang dapat digunakan untuk menjelaskan transformasi sosial politik yang tengah berlangsung, terutama kaitannya dengan kedaulatan negara demokrasi modern. Pengambilan keputusan terkait masalah ekonomi harus dilakukan secara demokratis dengan melibatkan rakyat, atau dalam bahasa lain disebut melibatkan peran serta masyarakat.

Demokrasi kosmopolitan merupakan pemahaman baru tentang demokrasi sambil memperhitungkan interlocking proses-proses politik dan ekonomi pada level lokal, nasional, dan global.

Redefinisi demokrasi yang sifatnya lintas batas negara itu bertujuan agar isu-isu yang dewasa ini berada di luar jangkauan nation state, seperti aliran kapital global, beban utang negara- negara berkembang, krisis ekologi, dan masalah keamanan internasional dapat ditundukkan pada kontrol demokrasi demi kepentingan kemanusiaan yang lebih universal.

Selanjutnya, menurut dia, supaya model demokrasi kosmopolitan dapat dilaksanakan, maka terdapat beberapa proses yang harus berlangsung. Pertama, model demokrasi kosmopolitan akan mencari kubu hukum yang demokratis guna memberikan bentuk dan batas-batas bagi pembuatan keputusan politik.

Hukum demokratis kosmopolitan ini dipahami sebagai suatu wilayah hukum dalam jenis yang berbeda dari hukum yang dibuat antara satu negara dan negara lain, yaitu hukum internasional.

“Held mengambil konsep hukum kosmopolitan ini dari Immanuel Kant yang menyatakan bahwa hukum kosmo- politan adalah suatu cara memahami hukum yang tidak fantastis dan tidak pula utopis, akan tetapi merupakan suatu ‘pelengkap yang perlu’ bagi aturan tidak tertulis hukum nasional dan internasional yang ada, dan suatu sarana untuk mentransformasikan hukum internasional menjadi hukum kemanusiaan publik,” beber dia.

Hal ini karena tempat-tempat kekuasaan bisa saja terdapat di lingkungan nasional, transnasional dan internasional, yang mana kekuasaan tersebut menjadi ancaman potensial terhadap demokrasi karena kemampuannya dalam membatasi otonomi. Oleh karena itu, hukum publik demokratis dalam suatu komunitas politik memerlukan hukum demokratis dalam lingkungan internasional.

“Menurut Held, hukum publik demokratis ini perlu ditunjang oleh struktur hukum internasional yang ia sebut sebagai hukum demokratis kosmopolitan. Untuk itu, hukum demokratis kosmopolitan perlu dimasukkan ke dalam konstitusi- konstitusi parlemen dan majelis-majelis perwakilan rakyat, baik pada tingkat nasional maupun internasional.

Di samping itu perlu ditonjolkan pengaruh pengadilan internasional secara luas agar kelompok dan individu mempunyai sarana yang efektif untuk menuntut otoritas politik bagi penetapan dan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pokok rakyat, baik di dalam maupun di luar perhimpunan politik,” bebernya lagi.

Kemudian, Kedua, searah dengan perkembangan tersebut, model demokrasi kosmopolitan akan mengusahakan terciptanya lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif transnasional yang efektif pada tingkat regional dan global, yang terikat oleh syarat- syarat hukum demokratis pokok.

Munculnya kerjasama parlemen antar negara juga merupakan tanda dari kinerja demokrasi kosmopolitan internasional. Demikian pula adanya parlemen regional, seperti Parlemen Eropa, yang merupakan gabungan atau kerjasama beberapa negara di Eropa, dapat dimaknai sebagai perkembangan model demokrasi kosmopolitan global.

“Tujuannya adalah untuk mengefektifkan pengawasan dan kinerja dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada dimensi global dan internasional,” demikian tutup Prof. Dr. Andrie Elia, SE., M.Si dalam orasi ilmiahnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *